Setelah wafatnya dua orang terdekat Nabi Muhammad SAW yakni istri tercinta Khadijah dan pamannya Abu Thalib, Rasulullah menghadapi masa-masa sulit. Beliau mendapatkan penolakan, intimidasi hingga kekerasan fisik saat berdakwah. Kota Thaif menjadi saksinya. Mengutip buku Sirah Nabawiyah yang ditulis Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, nama kota Thaif diambil dari keberadaan pagar atau tembok yang mengelilingi kota tersebut. Kota ini juga dihuni oleh orang-orang kaya dan para pemuka Quraisy.
Rasulullah berdakwah ke Thaif dengan ditemani Zaid bin Haritsah RA. Selain berdakwah, kedatangan Rasulullah SAW ke Thaif juga bertujuan untuk memohon perlindungan kepada suku Tsaqif dari tekanan yang diterima oleh Rasulullah di Makkah sepeninggalan Abu Thalib.
Rasulullah menemui tiga pembesar bani Tsaqif yaitu Mas’ud, Abdu Yalail dan Habib untuk mengajak mereka beriman kepada Allah SWT. Rasulullah pun mendapatkan penolakan keras dari pembesar bani Tsaqif. Mereka membujuk orang bodoh dan budak-budak mereka untuk meneriaki Nabi Muhammad, kemudian melempari beliau dengan batu. Mendapat serangan dari warga Thaif, Rasulullah dan Zaid pergi ke balik sebuah gunung. Warga Thaif pun terus mengejar Nabi Muhammad hingga beberapa batu menyebabkan luka pada kaki Rasulullah dan berdarah.
Jejak tempat Nabi Muhammad dilempari batu oleh penduduk Thaif ini saat ini ditandai dengan sebuah bangunan persegi. Di atas bangunan tersebut juga terdapat gua yang dipercaya jadi lokasi Rasulullah bersembunyi dari kejaran orang Thaif. Penyerangan dari orang Thaif terhenti ketika Rasulullah dan Zaid masuk ke dalam sebuah kebun anggur milik Utbah dan Syaibah dari suku ‘Abd Syams, keturunan Quraisy. Dalam tradisi Arab, orang yang sudah masuk ke dalam pekarangan orang lain dianggap telah mendapatkan perlindungan dari pemilik tanah atau rumah tersebut.
Rasulullah kemudian duduk di bawah pohon rindang sambil memanjatkan doa:
“Ya, Allah, kepada-Mu juga aku mengadukan kelemahan kekuatanku, kekurangan siasatku dan kehinaan di hadapan manusia. Wahai Yang Paling Pengasih di antara para pengasih, Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, Engkau Rabbku, kepada siapa hendak engkau serahkan diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai urusanku? Aku tidak peduli asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sebab sungguh teramat luas afiat yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung dengan cahaya Wajah-Mu yang menyinari segala kegelapan dan karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menurunkan kemarahan-MU kepadaku atau murka kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau Ridha. Tidak ada daya dan kekuatan
Doa yang dilantunkan Nabi Muhammad terdengar oleh Utbah dan Syabah, pemilik kebun. Keduanya memanggil Addas yang beragama Nasrani. “Ambil setandan buah dan anggur ini dan serahkan kepada orang itu,” ujar Utbah kepada Addas. Lalu Addas langsung mengambil setandan anggur dan memberikannya kepada Nabi Muhammad. Dan saat memakan buah anggur, Rasulullah mengucap Basmallah.
Rasulullah pun bertanya kepada Addas, “Dari negeri mana asalmu dan apa agamamu?” “Aku seorang Nasrani dari penduduk Ninawy (Nineveh, sekarang masuk wilayah Irak),” jawab Addas. “Nineveh, kota tempat asal seorang hamba yang saleh, Yunus putra Matta,” sabda Rasulullah. Addas pun semakin kaget. Dia pun bertanya tentang Yunus bin Matta yang kemudian dijawab Rasulullah, “Beliau (Yunus) adalah saudaraku, Beliau seorang nabi begitu pula aku.” Dialog Rasulullah dan Addas tersebut diceritakan dalam hadits yang terdapat dalam buku Histori 72 Masjid di Tanah Suci dalam Khazanah Sunnah Nabi tulisan Brilly El-Rasheed. Pada akhirnya Addas memeluk Islam. Untuk mengenang peristiwa tersebut saat ini di bekas rumah Addas dibangun sebuah masjid. Masjid tersebut diberi nama Masjid Addas.